Tag Archives: tahun baru

2009

Di koran muncul kabar buruk tentang 2009.

“Bencana dahsyat bisa menimpa Indonesia. Kawasan Asia-Pasifik menghadapi era mala petaka dalam skala besar yang bisa menewaskan
sampai satu juta orang pada satu waktu. Sabuk Himalaya, China, Filipina, Indonesia, mempunyai resiko yang paling besar, menurut laporan ilmiah dari badan pemerintah Geoscience Australia. Gempa bumi, angin topan, letusan gunung dan tsunami akan menyerbu wilayah yang berpenduduk padat ”

Amat tertegun.

“Apakah ini yang disebut kiamat?” tanyanya kepada istrinya.
Bu Amat menjawab enteng.
“Bukan.”
“Bukan bagaimana?! Pemanasan global sudah menyebabkan perubahan iklim. Kita manusia sudah merusakkan bumi dan sekarang akan menerima ganjaran kita. Bersiap-siap saja.”
“Siap-siap bagaimana?”
“Ya menghadapi bencana.”
“Tidak usah!”
“Kok tidak usah?”
“Biar saja itu nanti kan diurus oleh koran-koran.”

Amat tercengang. Ia cepat-cepat meninggalkan istrinya yang dianggapnya tidak pernah peka terhadap masalah-masalah dunia.

“Ibu kamu itu berpikirnya terlalu sempit,”kata Amat curhat pada Ami,
“setiap kali diajak rembugan masalah dunia, dia tidak peka. Terlalu menyepelekan. Sama sekali tidak mau peduli. Masak kita akan menghadapi kiamat, dia tenang-tenang saja?! Tapi kalau soal kenaikan harga beras atau cabe baru lima puluh sen dia sudah mencak-mencak!”

Amat lalu mencari informasi ke tetangga. Apa ada yang membaca berita adanya bahaya di tahun baru. Ternyata tak beda dengan Bu Amat, semuanya hanya mendengarkan sebagai berita jauh yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan diri mereka. Amat malah diajak tukar pikiran tentang resesi ekonomi yang menyebabkan bukan hanya Amerika tetapi di Jepang juga terjadi PHK besar-besaran.

“Kalau negara-negara kaya saja sudah kalang kabut seperti itu, apalagi kita yang akan menghadapi pemilihan umum dengan segala macam persoalan kita yang tidak pernah selesai, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, disintegrasi dan hilangnya kesadaran bahwa kita ini masyarakat majemuk yang penuh perbedaan. Pak Amat sudah tahu akan memilih siapa nanti sebagai presiden? Kasih masukan dong!”

Amat kecewa sekali. Akhirnya dia hanya bisa duduk menyepi sendirian di sebuah kursi tua di belakang rumah. Sambil memandang ke tembok yang penuh lumut, ia mencoba untuk menyapa tahun 2009.

“Apakah kau benar-benar datang dengan segala bencana itu atau semua itu sengaja kamu tebarkan supaya manusia berhati-hati mulai sekarang, sehingga malapetaka itu batal terjadi? ”

Tahun 2009 tiba-tiba menyeruak dari balik tembok, menghampiri Amat.

“Kamu bertanya padaku tua bangka?”

Amat kaget.

“Ya. Betul!”
“Kenapa suara kamu begitu ketus?”
“Sebab kabar ilmiah dari Australia mengatakan kamu akan datang memberondong dengan malapetaka gempa, letusan gunung, tsunami dan membunuh 1 juta orang dalam satu gebrakan!”

“O ya?”

“Ya! Kau jangan akting pura-pura tidak tahu! Kamu pikir para penonton semuanya bodoh seperti sinetron-sinetron di layer kaca itu? Kalau mau datang, datanglah secara kesatria. Mari kita selesaikan semuanya secara jantan!”

“Suara kamu seperti menantang!”
“Memang!”
“Kenapa? Apa kita tidak bisa bersahabat?”
“Buat apa bersahabat kalau kamu datang mau menghancurkan dunia. Kita blak-blakan saja. Tidak perlu meniru para pemain politik itu!”

Tahun 2009 menghampiri Amat lebih dekat.
“Jangan terlalu dekat, ini rumahku!”
“Apa aku tidak boleh duduk supaya kita bisa ngomong dengan tenang?”
“Jangankan duduk, masuk pun tidak akan aku izinkan!”
“Kenapa?”
“Menghadapi musuh hanya ada dua kemungkinan. Membunuh atau dibunuh!”
“Ah Amat, kau masih dikuasia oleh semangat revolusi merebut kemerdekaan di zaman kolonial!”
“Memang! Kolonialisme belum lenyap dari negeri ini. Penjajahan politik sudah kita tendang, tapi masih ada penjajahan ekonomi dan penjajahan budaya. Dua-duanya harus di bunuh. Belum selesai itu, kau sudah datang lagi sebagai musuh yang lain. Pergi! Jangan dekati rumah kami ini! Apa kamu tidak tahu negeri ini, bangsa ini sudah ratusan tahun menderita.

Apa kami tidak boleh istirahat sebentar dan bahagia sedikit? Kamu zalim!”

Tahun 2009 terkejut.
“Kau bilang aku zalim?”
“Ya! Membunuh satu orang saja orang bisa dihukum mati, kamu membunuh satu juta, tidak ada hukumannya lagi. Pergi! Kam zalimi kami!”
2009 terhenyak.

“Heee! Jangan berhenti lama di rumahku ini, nanti tetangga menyangka aku antek kamu! Pergi! Kalau tidak aku akan berteriak memanggil orang-orang untuk menghajar kamu!”

Amat berteriak. Tapi 2009 tak bergerak.. Dengan panic AMat berlari ke kamar mengambil samurai yang disimpannya di bawah tempat tidur. Sambil menghunus pedang karatan itu ia muncul kembali dengan sikap siap menebas. Tetapi 2009 sudah mundur kembali ke tembok.

“He mau ke mana kamu?”
“Pergi. Aku malu datang kalau kalian semua tidak menghendaki aku.”

Tanpa menunggu jawaban Amat, 2009 lalu memanjat tembok dan melompat entah ke mana. Waktu itu, mendadak Amat merasa nyawanya sendiri yang melompat.

Perasaannya tiba-tiba kosong. Badannya lemas. Lalu ia tergigit oleh sepi yang begitu menusuk-nusuk. Tangannya gemetar. Samurai di genggamannya terlepas.

Untung saja Bu Amat dan Ami sudah ada di dekatnya. Mereka cepat menyambut samurai yang hampir saja melukai kaki Amat.

“Siapa Pak?”

Amat menunjuk ke tembok.

“Dia pergi, dia tak jadi datang! Panggil dia! Kejar dia sebelum hilang!!”

“Siapa?”

Amat berteriak makin keras nyaris kalap.

“Kejar dia! Panggil! Lebih baik dia datang biar bawa bencana, daripada pergi meninggalkan kita. Kembaliii! Jangan tinggalkan kami di sini! Kembaliii!!”