Pemerintah dan Seni

Setelah masa reformasi, keadaan Indonesia porak-poranda. Ada perdebatan di antara para ahli, bagaimana membangun Indonesia kembali. Satu pihak mengatakan bahwa untuk membangun Indonesia yang baru dan satu, diperlukan stabilitas politik. Pihak lain membantah, mereka mengemukakan bukan stabilitas politik, tetapi stabilitas ekonomi yang mesti didahulukan.

Tak ada kesimpulan atas perdebatan itu. Pembangunan Indonesia pun berjalan seret, bingung dan tetap masih dalam keadaan tersaruk-saruk sampai sekarang. Yang jelas adalah bahwa “budaya” sama sekali tidak diperhitungkan.

Padahal sudah begitu santer tuduhan bahwa salah satu musuh terbesar pembangunan Indonesia adalah korupsi yang sudah seperti “membudaya”. Sementara kemerosotan moral dan sindiran “bangsa tak beradab” muncul dari tetangga. Bagaimana tidak. Maling ayam bisa dibakar, mall diganguskan berikut pengunjungnya, manusia makan manusia seperti dalam film horror.

Kongres Kebudayaan yang bergegas dilakukan pada 2003 dengan maksud untuk memberikan masukan pada pemerintah dalam rangka ikut membangun Indonesia dari aspek moralnya, hanya menjadi peristiwa seremonial. Tujuh belas butir keputusan yang hendak memberikan arahan pada politik dan strategi kebudayaan, hanya berakhir sebagai sebuah dokumen – sebagaimana juga hasil-hasil Kongres Kebudayaan sebelumnya – sampai kemudian saat untuk menyelenggarakan Kongres Kebudayaan berikutnya (disepakati dalam Kongres 2003, 5 tahun sekali) sudah di depan mata lagi.

Seni sebagai bagian dari kebudayaan yang sebenarnya berharap akan mendapat kasih-sayang yang lebih baik berkat butir-butir keputusan Kongres Kebudayaan 2003, terpaksa menikmati nasibnya yang lama, menjadi anak tiri dalam pembangunan. Posisinya tetap sebagai penumpang gelap yang sekali tempo beruntung bisa bernafas kalau ada bola liar pada tutup tahun sisa anggaran. Selebihnya hanya menjadi pengemis yang berjuang sendiri untuk hidup. Beda sekali dengan kegiatan olahraga yang kendati prestasinya tak seberapa (bahkan sepakbola kalah melulu) tetap saja mendapat anggaran yang manis.

Padahal sudah jelas dibuktikan bahwa hidup tak hanya membutuhkan sandang-pangan dan papan. Dalam musibah tsunami di Nanggru, Aceh Darussalam, misalnya, kita lihat, sumbangan berlimpah dari seluruh dunia, tak segera melipur lara. Manusia tidak hanya memerlukan ganti harta-bendanya yang hilang. Yang lebih menyakitkan dan sulit disembuhkan adalah hati hampa oleh luka kehilangan sanak-saudara.. Itu sebabnya kemudian, sesudah membanjiri daerah bencana dengan berbagai sumbangan, maka kesenian pun mulai dikirim. Senilah yang dapat menyeimbangkan kembali rasa yang sudah terbelah oleh kehilangan yang tidak mungkin tergantikan itu.

Di dalam pembangunan kota-kota di Indonesia, banyak contoh bagaimana sial posisi seni. Bila ekonomi berkembang, maka jalanan menjadi macat. Motor berseliweran seperti kecoak. Mobil berbaris panjangnya melebihi panjang jalan. Pembangunan gedung bertingkat di mana-mana kesurupan. Gedung yang sebenarnya masih layak dipakai, dirobohkan. Peninggalan sejarah pun tak urung diratakan dengan tanah, agar bisa memuaskan nafsu manusia untuk membangun proyek.

Sementara tempat-tempat publik, diabaikan. Gedung kesenian sama sekali tidak diupayakan. Indonesia yang lebarnya sama dengan daratan Amerika dan penduduknya masik kelompok besar dunia, sumber daya alamnya pun konon hebat, ternyata hanya punya satu gedung kesenian yang layak. GKJ di wilayah Pasar Baru, Jakarta. Itu pun warisan Belanda yang dulu sempat diacak-acak dijadikan gedung bioskop dan hanya karena keajaiban tidak punah oleh kegarangan membangun.

Begitu banyak hasil-hasil kesenian dan kerajinan Indonesia yang pantas dipajang sebagai pelajaran di museum, tetapi begitu sedikit museum yang ada. Hampir semua museum sepi bagai rumah hantu. Pengunjungnya paling banter peneliti-peneliti asing, turis mancanegara dan murid-murid sekolah yang dipaksa melakukan study tour oleh sekolahnya. Penghargaan terhadap seni, begitu kurang, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat.

Mengeluh tentang kurangnya penghargaan pemerintah dan masyarakat pada seni, sebenarnya sudah tidak penting lagi, sebab nasib kesenian di negeri ini memang begitu. Memang ada Departemen Kebudayaan tetapi digandeng oleh Departemen Pendidikan dan sekarang oleh Departemen Pariwisata. Akibatnya hanya jadi bayang-bayang kelabu. Tak heran kalau di masa pemerintrahan Gus Dur departemen kebudayaan (seperti juga departemen penerangan dan sosial) dibunuh.

Namun pembasmian itu ada baiknya. Daripada ada tetapi tiada, lebih baik sama sekali tak ada, tetapi ada. Artinya: justru dengan tak adanya departemen kebudayaan, kebudayaan dengan sendirinya masuk ke seluruh departemen dengan bebas dan galak. Seluruh departemen dengan tak ragu-ragu akan “membudaya” tanpa perlu merasa mencampuri dapur departemen lain (kebudayaan). Hal itu terjadi karena kehidupan bernegara mustahil lepas dari seni-budaya.

Yang menarik adalah kenyataan bahwa kendati perhatian pada kebudayaan/kesenian secara formal begitu “brengseknya”, toh pemerintah sejak dulu terus mengirim missi-missi kebudayaan sebagai bagian dari diplomasi publik. Sementara dunia pariwisata yang makin lama semakin menjadi putra mahkota perebut divisa dari kelom pok non migas, dengan lantang sudah mengobarkan semboyan: “pariwisata budaya”. Kepariwisataan yang terang-terang hendak “menjual” budaya – maksudnya “seni tradisi”.

Walhasil, kendati pemerintah dan masyarakat nampak tak peduli pada kesenian, tetapi pada prakteknya seni dimanfaatkan untuk mengenalkan Indonesia ke forum internasional. Khususnya seni tradisi. Dan berhasil. Jadi kendati didudukkan sebagai “obyek”, dana sudah mengucur dan seni tradisi pun hidup sehat dan segar, walau tak membuat perorangan menjadi kaya-raya (seperti dalam seni modern). Maka semua kesenian akan lebih terlindungi secara proyek bila dikatagorikan seni tradisi atau seni wilayah, karena dia akan mudah mendapat santunan dana.

Seni modern pun mulai diam-diam membonceng. Tak jarang dengan “memperalat” pengembangan atau pelestarian seni tradisi ( kolaborasi, inter aksi, kreasi baru) seni modern mencuri santunan. Dan itu dimaklumi. Artinya, secara diam-diam pengembangan seni modern juga didukung oleh pemerintah, asal memakai tameng seni tradisi. Betul, itu akal-akalan, tapi hasilnya konkrit.

Maka kita pun sampai pada kata-kata “puncak-puncak kesenian daerah adalah kesenian nasional”. Dalam pengertian itu, sebenarnya banyak hal yang bisa disimpulkan. Apa sebenarnya yang dinamakan puncak? Ukuran puncaknya apa? Sangat tak jelas. Apa itu berarti yang terbaik, atau termasuk terbaik, atau cukup karena mampu bertahan dengan baik sepanjang masa?

Puncak pohon kelapa (yang sudah berbuah) paling tidak tingginya beberapa meter. Tapi untuk rumput, yang namanya puncak cukup beberapa centimeter saja. Puncak tidak hanya satu, bisa banyak. Apa salahnya untuk menganggap kesenian yang asal mampu bertahan hidup sepanjang zaman, sebagai puncak?

Apakah puncak kesenian Sumatra Barat itu hanya saluang, randai, serampang dua belas saja – untuk menyebutkan beberapa sebagai misal. Atau semua tarian Minang yang bertahan adalah puncak dan karenanya juga adalah tarian nasional alias tarian Indonesia. Dengan kata lain, semua kesenian daerah (baca: tradisi) dalah kesenian nasional alias kesenian Indonesia . Dengan kata tradisi – seperti kita bentangkan di atas – seni adalah aset untuk menjaring devisa dan karenanya akan mendapat jaminan santunan. Inilah kesempatan emas bagi kesenian Indonesia modern kemudian untuk melakukan pencurian yang diam-diam direstui, walau pun pemerintah tak peduli (pura-pura) pada kesenian.

Pada tahun 1991 saya dikejutkan oleh komentar Toshi Tsuchitori (pimpinan musik pementasan Mahabharata Peter Brook). “Kami di Jepang harus belajar dari kalian di Indonesiam bagaimana memeliharan tradisi, ‘”katanya. “Di Jepang tradisi dipelihara dengan begitu kakunya, sehingga anak-anak muda gerah lalu menolak, lalu mengganti kiblat dengan Amerika. Tapi pada kalian di Indonsia, seni tradisi dan seni modern/kontemporetr begitu mesra berjalan bersama.”

Pada 1995 dalam pertemuan Teater di Solo. Katsura-Khan, penari butho anggota Byakhosa, juga memberikan komentar yang senada. Melihat pertunjukan teater berbahasa Jawa yang digelar secara terbuka di Taman Budaya dengan pengunjung membludak, dia berdecak kagum di depan saya. “Ini yang membuat aku iri. Yang begini tidak ada di jepang,”katanya.

Kedua komentar itu benar-benar sudah menjungkir balik cara saya melihat kenyataan “rawan” di Indonesia. Kurang mesranya cinta “pemerintah-penguasa-masyarakat” pada seni (baca budaya) justru telah membuat kesenian di Indonesia menjadi garang dan berdarah. Itulah yang sudah mematangkan Indonesia menghasilkan orang-orang seperti Rendra, Sardono, Sutardji, Arifin, Chairil, Pramudya, Amir Hamzah, Slamet Syukur, Goenawan, Afandi, Huriah Adam, Gusmiati Suid, Ki Narto Sabdo, Oesman Effendi dll.

1 responses to “Pemerintah dan Seni

  1. putu wijaya adalah tokoh yang memang intens mengkririk kondisi budaya Indonesia, saya pernah baca salah satu bukukumpulan esai budayanya pada masa hangat-hangatnya pasca reformasi, dan sampai detik ini pun beliau tak berhenti untuk tetap memantau kondisi tersebut yang ternyata memang tak berubah dari saat itu, entah apa yang salah atau mungkin kita belum menemukan media yang tepat dan mengena untuk “mengkampanyekan” hal itu?

Tinggalkan komentar